Kenalkan nama saya Basri, usia 41 tahun, berat badan 57 kg, rambut
hitam lurus dengan warna kulit antara kehitaman dan kemerahan. Sejak
kecil saa tergolong pendiam, kurang pergaulan dan pengalaman. Saya
berasal dari keluarga yang hidup sederhana di suatu desa agak terpencil
kurang lebih 3 km dari ibu kota kecamatanku. Saya dibesarkan oleh kedua
orangtuaku dengan 5 saudara perempuanku. Jujur saja saya adalah suku B,
yang ingin mengungkapkan pengalaman hidupku yang tergolong aneh seperti
halnya teman-teman lainnya melalui cerita porno di internet.
Singkat cerita, setelah saya menikah dengan seorang perempuan pilihan
orangtuaku, saya mencoba hidup mandiri bersama istri sebagai bentuk
rasa tanggungjawab saya sebagai suami dan kepala rumahtangga, meskipun
rasa cintaku pada istriku tersebut belum mendalam, namun tetap saya coba
menerima kenyataan ini siapa tahu di kemudian hari saya kami bisa
saling mencintai secara penuh, lagi pula memang saya belum pernah sama
sekali jatuh cinta pada wanita manapun sebelumnya.
Kami coba mengadu nasib di kota Kabupatenku dengan menyewa rumah yang
sederhana. Beberapa bidang usaha saya coba tekuni agar dapat
menanggulangi keperluan hidup kami sehari-hari, namun hingga kami
mempunyai 3 orang anak, nasib kami tetap belum banyak berubah. Kami
masih hidup pas-pasan dan bahkan harapanku semula untuk mempertebal
kecintaanku terhadap istriku malah justru semakin merosot saja. Untung
saja, saya orangnya pemalu dan sedikit mampu bersabar serta terbiasa
dalam penderitaan, sehingga perasaanku itu tidak pernah diketahui oleh
siapapun termasuk kedua orangtua dan saudara-saudaraku.
Entah pengaruh setan dari mana, suatu waktu tepatnya Bulan Oktober
2003 aku sempatkan diri berkunjung ke rumah teman lamaku sewaktu kami
sama-sama di SMA dulu. Sebut saja namanya Rais. Dia baru saja pulang
dari Kalimantan bersama dengan istrinya, yang belakangan saya ketahui
kalau istrinya itu adalah anak majikannya sewaktu dia bekerja di salah
satu perusahaan swasta di sana. Mereka juga melangsungkan perkawinan
bukan atas dasar saling mencintai, melainkan atas dasar jasa dan balas
budi.
Sekitar pukul 17.00 sore, saya sudah tiba di rumah Rais dengan naik
ojek yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah kontrakan kami. Merekapun
masih tinggal di rumah kontrakan, namun agak besar dibanding rumah yang
kami kontrak. Maklum mereka sedikit membawa modal dengan harapan membuka
usaha baru di kota Kabupaten kami. Setelah mengamati tanda-tanda yang
telah diberitahukan Rais ketika kami ketemu di pasar sentral kota kami,
saya yakin tidak salah lagi, lalu saya masuk mendekati pintu rumah itu,
ternyata dalam keadaan tertutup.
“Dog.. Dog.. Dog.. Permisi ada orang di rumah” kalimat penghormatan
yang saya ucapkan selama 3 kali berturut-turut sambil mengetuk-ngetuk
pintunya, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Saya lalu mencoba
mendorong dari luar, ternyata pintunya terkunci dari dalam, sehingga
saya yakin pasti ada orang di dalam rumah itu. Hanya saja saya masih
ragu apakah rumah yang saya ketuk pintunya itu betul adalah rumah Rais
atau bukan. Saya tetap berusaha untuk memastikannya. Setelah duduk
sejenak di atas kursi yang ada di depan pintu, saya coba lagi
ketuk-ketuk pintunya, namun tetap tidak ada tanda-tanda jawaban dari
dalam. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba mengintip dari samping
rumah. Melalui sela-sela jendela di samping rumahnya itu, saya sekilas
melihat ada kilatan cahaya dalam ruangan tamu, tapi saya belum
mengetahui dari mana sumber kilatan cahaya itu. Saya lalu bergeser ke
jendela yang satunya dan ternyata saya sempat menyaksikan sepotong tubuh
tergeletak tanpa busana dari sebatas pinggul sampai ujung kaki. Entah
potongan tubuh laki-laki atau wanita, tapi tampak putih mulus seperti
kulit wanita.
Dalam keadaan biji mataku tetap kujepitkan pada sela jendela itu
untuk melihat lebih jelas lagi keadaan dalam rumah itu, dibenak saya
muncul tanda tanya apa itu tubuh istrinya Rais atau Rais sendiri atau
orang lain. Apa orang itu tertidur pula sehingga tersingkap busananya
atau memang sengaja telanjang bulat. Apa ia sedang menyaksikan acara TV
atau sedang memutar VCD porno, sebab sedikit terdengar ada suara TV
seolah film yang diputar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu
mengganggu pikiranku sampai akhirnya aku kembali ke depan pintu semula
dan mencoba mengetuknya kembali. Namun baru saja sekali saya ketuk,
pintunya tiba-tiba terbuka lebar, sehingga aku sedikit kaget dan lebih
kaget lagi setelah menyaksikan bahwa yang berdiri di depan pintu adalah
seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian sedikit terbuka karena
tubuhnya hanya ditutupi kain sarung. Itupun hanya bagian bawahnya saja.
“Selamat siang,” kembali saya ulangi kalimat penghormatan itu.
“Ya, siang,” jawabnya sambil menatap wajah saya seolah malu, takut dan kaget.
“Dari mana Pak dan cari siapa,” tanya wanita itu.
“Maaf dik, numpang tanya, apa betul ini rumah Rais,” tanya saya.
“Betul sekali pak, dari mana yah?” tanya wanita itu lemah lembut.
“Saya tinggal tidak jauh dari sini dik, saya ingin ketemu Rais.
Beliau adalah teman lama saya sewaktu kami sama-sama duduk di SMA dulu,”
lanjut saya sambil menyodorkan tangan saya untuk menyalaminya. Wanita
itu mebalasnya dan tangannya terasa lembut sekali namun sedikit hangat.
“Oh, yah, syukur kalau begitu. Ternyata ia punya teman lama di sini
dan ia tak pernah ceritakan padaku,” ucapannya sambil mempersilahkanku
masuk. Sayapun langsung duduk di atas kursi plastik yang ada di ruang
tamunya sambil memperhatikan keadaan dalam rumah itu, termasuk letak
tempat tidur dan TVnya guna mencocokkan dugaanku sewaktu mengintip tadi
Setelah saya duduk, saya berniat menanyakan hubungannya dengan Rais,
tapi ia nampak buru-buru masuk ke dalam, entah ia mau berpakaian atau
mengambil suatu hidangan. Hanya berselang beberapa saat, wanita itu
sudah keluar kembali dalam keadaan berpakaian setelah tadinya tidak
memakai baju, bahkan ia membawa secangkir kopi dan kue lalu diletakkan
di atas meja lalu mempersilahkanku mencicipinya sambil tersenyum.
“Maaf dik, kalau boleh saya tanya, apa adik ini saudara dengan Rais?”
tanyaku penuh kekhawatiran kalau-kalau ia tersinggung, meskipun saya
sejak tadi menduga kalau wanita itu adalah istri Rais.
“Saya kebetulan istrinya pak. Sejak 3 tahun lalu saya melangsungkan
pernikahan di Kalimantan, namun Tuhan belum mengaruniai seorang anak,”
jawabnya dengan jujur, bahkan sempat ia cerita panjang lebar mengenai
latar belakang perkawinannya, asal usulnya dan tujuannya ke Kota ini.
Setelah saya menyimak ulasannya mengenai dirinya dan kehidupannya
bersama Rais, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita itu adalah
suku di Kalimantan yang asal usul keturunannya juga berasal dari suku di
Sulawesi. Ia kawin dengan Rais atas dasar jasa-jasa dan budi baik
mereka tanpa didasari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam, seperti
halnya yang menimpa keluarga saya. Ia tetap berusaha dan berjuang untuk
menggali nilai-nilai cinta yang ada pada mereka berdua siapa tahu kelak
bisa dibangun. Anehnya, meskipun kami baru ketemu, namun ia seolah
ingin membeberkan segala keadaan hidup yang dialaminya bersama suami
selama ini, bahkan terkesan kami akrab sekali, saling menukar pengalaman
rahasia rumah tangga tanpa ada yang kami tutup-tupi. Lebih heran lagi,
selaku orang pendiam dan kurang pergaulan, saya justru seolah menemukan
diriku yang sebenarnya di rumah itu. Karena senang, bahagia dan asyiknya
perbincangan kami berdua, sampai-sampai saya hampir lupa menanyakan ke
mana suaminya saat ini. Setelah kami saling memahami kepribadian, maka
akhirnya sayapun menanyakan Rais (suaminya itu).
“Oh yah, hampir lupa, ke mana Rais sekarang ini, kok dari tadi tidak
kelihatan?” tanyaku sambil menyelidiki semua sudut rumah itu.
“Kebetulan ia pulang kampung untuk mengambil beras dari hasil panen
orangtuanya tadi pagi, tapi katanya ia tidak bermalam kok, mungkin
sebentar lagi ia datang. Tunggu saja sebentar,” jawabnya seolah tidak
menghendaki saya pulang dengan cepat hanya karena Rais tidak di rumah.
“Kalau ke kampung biasanya jam berapa tiba di sini,” tanyaku lebih lanjut.
“Sekitar jam 8.00 atau 9.00 malam,” jawabnya sambil menoleh ke jam
dinding yang tergantung dalam ruangan itu. Padahal saat ini tanpa terasa
jarum jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam.
Tak lama setelah itu, ia nampaknya buru-buru masuk ke ruang dapur,
mungkin ia mau menyiapkan makan malam, tapi saya teriak dari luar kalau
saya baru saja makan di rumah dan melarangnya ia repot-repot menyiapkan
makan malam. Tapi ia tetap menyalakan kompornya lalu memasak seolah tak
menginginkan aku kembali dengan cepat. Tak lama sesudah itu, iapun
kembali duduk di depan saya melanjutkan perbincangannya. Sayapun tak
kehabisan bahan untuk menemaninya. Mulai dari soal-soal pengalaman kami
di kampung sewaktu kecil hingga soal rumah tangga kami masing-masing.
Karena nampaknya kami saling terbuka, maka sayapun berani menanyakan
tentang apa yang dikerjakannya tadi, sampai lama sekali baru dibukakan
pintu tanpa saya beritahu kalau saya mengintipnya tadi dari selah
jendela. Kadang ia menatapku lalu tersenyum seolah ada sesuatu berita
gembira yang ingin disampaikan padaku.
“Jadi bapak ini lama mengetuk pintu dan menunggu di luar tadi?” tanyanya sambil tertawa.
“Sekitar 30 menit barangkali, bahkan hampir saya pulang, tapi untung
saya coba kembali mengetuk pintunya dengan keras,” jawabku terus terang.
“Ha.. Ha.. Ha.. Saya ketiduran sewaktu nonton acara TV tadi,” katanya dengan jujur sambil tertawa terbahak-bahak.
“Tapi bapak tidak sampai mengintip di samping rumah kan? Maklum kalau
saya tertidur biasanya terbuka pakaianku tanpa terasa,” tanyanya seolah
mencurigaiku tadi. Dalam hati saya jangan-jangan ia sempat melihat dan
merasa diintip tadi, tapi saya tidak boleh bertingkah yang mencurigakan.
“Ti.. Ti.. Dak mungkin saya lakukan itu dik, tapi emangnya kalau saya
ngintip kenapa?” kataku terbata-bata, maklum saya tidak biasa bohong.
“Tidak masalah, cuma itu tadi, saya kalau tidur jarang pakai busana,
terasa panas. Tapi perasaan saya mengatakan kalau ada orang tadi yang
mengintipku lewat jendela sewaktu aku tidur. Makanya saya terbangun
bersamaan dengan ketukan pintu bapak tadi,” ulasnya curiga namun tetap
ia ketawa-ketawa sambil memandangiku.
“M.. Mmaaf dik, sejujurnya saya sempat mengintip lewat sela jendela
tadi berhubung saya terlalu lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban.
Jadi saya mengintip hanya untuk memastikan apa ada atau tidak ada orang
di dalam tadi. Saya tidak punya maksud apa-apa,” kataku dengan jujur,
siapa tahu ia betul melihatku tadi, aku bisa dikatakan pembohong.
“Jadi apa yang bapak lihat tadi sewaktu mengintip ke dalam? Apa bapak
sempat melihatku di atas tempat tidur dengan telanjang bulat?” tanyanya
penuh selidik, meskipun ia masih tetap senyum-senyum.
“Saya tidak sempat melihat apa-apa di dalam kecuali hanya kilatan
cahaya TV dan sepotong kaki,” tegasku sekali lagi dengan terus terang.
“Tidak apa-apa, saya percaya ucapan bapak saja. Lagi pula sekiranya
bapak melihatku dalam keadaan tanpa busana, bapak pasti tidak heran, dan
bukan soal baru bagi bapak, karena apa yang ada dalam tubuh saya tentu
sama dengan milik istri bapak, yah khan?” ulasnya penuh canda. Lalu ia
berlari kecil masuk ke ruang dapur untuk memastikan apa nasi yang
dimasaknya sudah matang atau belum.
Waktu di jam dinding menunjukkan sudah pukul 8.00, namun Rais belum
juga datang. Dalam hati kecilku, Jangan-jangan Rais mau bermalam di
kampungnya, aku tidak mungkin bermalam berdua dengan istrinya di rumah
ini. Saya lalu teriak minta pamit saja dengan alasan nanti besok saja
ketemunya, tapi istri Rais berteriak melarangku dan katanya,
“Tunggu dulu pak, nasi yang saya masak buat bapak sudah matang. Kita
makan bersama saja dulu, siapa tahu setelah makan Rais datang, khan
belum juga larut malam, apalagi kita baru saja ketemu,” katanya penuh
harap agar aku tetap menunggu dan mau makan malam bersama di rumahnya.
Tak lama kemudian, iapun keluar memanggilku masuk ke ruang dapur
untuk menikmati hidangan malamnya. Sambil makan, kamipun terlibat
pembicaraan yang santai dan penuh canda, sehingga tanpa terasa saya
sempat menghabiskan dua piring nasi tanpa saya ingat lagi kalau tadi
saya bilang sudah kenyang dan baru saja makan di rumah. Malu sendiri
rasanya.
“Bapak ini nampaknya masih muda. Mungkin tidak tepat jika aku panggil
bapak khan? Sebaiknya aku panggil kak, abang atau Mas saja,” ucapnya
secara tiba-tiba ketika aku meneguk air minum, sehingga aku tidak sempat
menghabiskan satu gelas karena terasa kenyang sekali. Apalagi saya
mulai terayu atau tersanjung oleh seorang wanita muda yang baru saja
kulihat sepotong tubuhnya yang mulus dan putih? Tidak, saya tidak boleh
berpikir ke sana, apalagi wanita ini adalah istri teman lamaku, bahkan
rasanya aku belum pernah berpikir macam-macam terhadap wanita lain
sebelum ini. Aku kendalikan cepat pikiranku yang mulai miring. Siapa
tahu ada setan yang memanfaatkannya.
“Bolehlah, apa saja panggilannya terhadapku saya terima semua,
asalkan tidak mengejekku. Hitung-hitung sebagai panggilan adik sendiri,”
jawabku memberikan kebebasan.
“Terima kasih Kak atau Mas atas kesediaan dan keterbukaannya” balasnya.
Setelah selesai makan, aku lalu berjalan keluar sambil memandangi
sudut-sudut ruangannya dan aku sempat mengalihkan perhatianku ke dalam
kamar tidurnya di mana aku melihat tubuh terbaring tanpa busana tadi.
Ternyata betul, wanita itulah tadi yang berbaring di atas tempat tidur
itu, yang di depannya ada sebuah TV color kira-kira 21 inc. Jantungku
tiba-tiba berdebar ketika aku melihat sebuah celana color tergeletak di
sudut tempat tidur itu, sehingga aku sejenak membayangkan kalau wanita
yang baru saja saya temani bicara dan makan bersama itu kemungkinan
besar tidak pakai celana, apalagi yang saya lihat tadi mulai dari
pinggul hingga ujung kaki tanpa busana. Namun pikiran itu saya coba
buang jauh-jauh biar tidak mengganggu konsentrasiku.
Setelah aku duduk kembali di kursi tamu semula, tiba-tiba aku
mendengar suara TV dari dalam, apalagi acaranya kedengaran sekali kalau
itu yang main adalah film Angling Dharma yaitu film kegemaranku. Aku
tidak berani masuk nonton di kamar itu tanpa dipanggil, meskipun aku
ingin sekali nonton film itu. Bersamaan dengan puncak keinginanku,
tiba-tiba,
“Kak, suka nggak nonton filmnya Angling Dharma?” teriaknya dari dalam kamar tidurnya.
“Wah, itu film kesukaanku, tapi sayangnya TV-nya dalam kamar,” jawabku dengan cepat dan suara agak lantang.
“Masuk saja di sini kak, tidak apa-apa kok, lagi pula kita ini khan
sudah seperti saudara dan sudah saling terbuka” katanya penuh harap.
Lalu saya bangkit dan masuk ke dalam kamar. Iapun persilahkan aku
duduk di pinggir tempat tidur berdampingan dengannya. Aku agak malu dan
takut rasanya, tapi juga mau sekali nonton film itu.
Awalnya kami biasa-biasa saja, hening dan serius nontonnya, tapi baru
sekitar setengah jam acara itu berjalan, tiba-tiba ia menawarkan untuk
nonton film dari VCD yang katanya lebih bagus dan lebih seru dari pada
filmnya Angling Dharma, sehingga aku tidak menolaknya dan ingin juga
menyaksikannya. Aku cemas dan khawatir kalau-kalau VCD yang ditawarkan
itu bukan kesukaanku atau bukan yang kuharapkan.
Setelah ia masukkan kasetnya, iapun mundur dan kembali duduk tidak
jauh dari tempat dudukku bahkan terkesan sedikit lebih rapat daripada
sebelumnya. Gambarpun muncul dan terjadi perbincangan yang serius antara
seorang pria dan seorang wanita Barat, sehingga aku tidak tahu maksud
pembicaraan dalam film itu. Baru saja aku bermaksud meminta mengganti
filmnya dengan film Angling Dharma tadi, tiba-tiba kedua insan dalam
layar itu berpelukan dan berciuman, saling mengisap lidah, bercumbu
rayu, menjilat mulai dari atas ke bawah, bahkan secara perlahan-lahan
saling menelanjangi dan meraba, sampai akhirnya saya menatapnya dengan
tajam sekali secara bergantian menjilati kemaluannya, yang membuat
jantungku berdebar, tongkatku mulai tegang dan membesar, sekujur tubuhku
gemetar dan berkeringat, lalu sedikit demi sedikit aku menoleh ke arah
wanita disampingku yakni istri teman lamaku. Secara bersamaan iapun
sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya
ke layar. Tentu aku tidak mampu lagi membendung birahiku sebagai pria
normal, namun aku tetap takut dan malu mengutarakan isi hatiku.
“Mas, pak, suka nggak filmnya? Kalau nggak suka, biar kumatikan
saja,” tanyanya seolah memancingku ketika aku asyik menikmatinya.
“Iiyah, bolehlah, suka juga, kalau adik, memang sering nonton film gituan yah?” jawabku sedikit malu tapi mau dan suka sekali.
“Saya dari dulu sejak awal perkawinan kami, memang selalu putar film
seperti itu, karena kami sama-sama menyukainya, lagi pula bisa menambah
gairah sex kami dikala sulit memunculkannya, bahkan dapat menambah
pengalaman berhubungan, syukur-syukur jika sebagian bisa dipraktekkan.
“Sungguh kami ketinggalan. Saya kurang pengalaman dalam hal itu, bahkan
baru kali ini saya betul-betul bisa menyaksikan dengan tenang dan jelas
film seperti itu. Apalagi istriku tidak suka nonton dan praktekkan
macam-macam seperti di film itu,” keteranganku terus terang.
“Tapi kakak suka nonton dan permainan seperti itu khan?” tanyanya lagi.
“Suka sekali dan kelihatannya nikmat sekali yach,” kataku secara tegas.
“Jika istri kakak tidak suka dan tidak mau melakukan permainan seperti
itu, bagaimana kalau aku tawarkan kerjasama untuk memperaktekkan hal
seperti itu?” tanya istri teman lamaku secara tegas dan berani padaku
sambil ia mendempetkan tubuhnya di tubuhku sehingga bisikannya terasa
hangat nafasnya dipipiku.
Tanpa sempat lagi aku berfikir panjang, lalu aku mencoba merangkulnya
sambil menganggukkan kepala pertanda setuju. Wanita itupun membalas
pelukanku. Bahkan ia duluan mencium pipi dan bibirku, lalu ia masukkan
lidahnya ke dalam mulutku sambil digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan,
akupun membalasnya dengan lahap sekali. Aku memulai memasukkan tangan ke
dalam bajunya mencari kedua payudaranya karena aku sama sekali sudah
tidak mampu lagi menahan birahiku, lagi pula kedua benda kenyal itu saya
sudah hafal tempatnya dan sudah sering memegangnya. Tapi kali ini,
rasanya lain daripada yang lain, sedikit lebih mulus dan lebih keras
dibanding milik istriku. Entah siapa yang membuka baju yang
dikenakannya, tiba-tiba terbuka dengan lebar sehingga nampak kedua benda
kenyal itu tergantung dengan menantang. Akupun memperaktekkan apa yang
barusan kulihat dalam layar tadi yakni menjilat dan mengisap putingnya
berkali-kali seolah aku mau mengeluarkan air dari dalamnya. Kadang
kugigit sedikit dan kukunyah, namun wanita itu sedikit mendorong
kepalaku sebagai tanda adanya rasa sakit.
Selama hidupku, baru kali ini aku melihat pemandangan yang indah
sekali di antara kedua paha wanita itu. Karena tanpa kesulitan aku
membuka sarung yang dikenakannya, langsung saja jatuh sendiri dan sesuai
dugaanku semula ternyata memang tidak ada pelapis kemaluannya sama
sekali sehingga aku sempat menatap sejenak kebersihan vagina wanita itu.
Putih, mulus dan tanpa selembar bulupun tumbuh di atas gundukan itu
membuat aku terpesona melihat dan merabanya, apalagi setelah aku
memberanikan diri membuka kedua bibirnya dengan kedua tanganku, nampak
benda kecil menonjol di antara kedua bibirnya dengan warna agak
kemerahan. Ingin rasanya aku telan dan makan sekalian, untung bukan
makanan, tapi sempat saya lahap dengan lidahku hingga sedalam-dalamnya
sehingga wanita itu sedikit menjerit dan terengah-engah menahan rasa
nikmatnya lidah saya, apalagi setelah aku menekannya dalam-dalam.
“Kak, aku buka saja semua pakaiannya yah, biar aku lebih leluasa
menikmati seluruh tubuhmu,” pintanya sambil membuka satu persatu pakaian
yang kukenakan hingga aku telanjang bulat. Bahkan ia nampaknya lebih
tidak tahan lagi berlama-lama memandangnya. Ia langsung serobot saja dan
menjilati sekujur tubuhku, namun jilatannya lebih lama pada biji
pelerku, sehingga pinggulku bergerak-gerak dibuatnya sebagai tanda
kegelian. Lalu disusul dengan memasukkan penisku ke mulutnya dan
menggocoknya dengan cepat dan berulang-ulang, sampai-sampai terasa
spermaku mau muncrat. Untung saya tarik keluar cepat, lalu membaringkan
ke atas tempat tidurnya dengan kaki tetap menjulang ke lantai biar aku
lebih mudah melihat, dan menjamahnya. Setelah ia terkulai lemas di atas
tempat tidur, akupun mengangkanginya sambil berdiri di depan gundukkan
itu dan perlahan aku masukkan ujung penisku ke dalam vaginanya lalu
menggerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan maju dan mundur, akhirnya dapat
masuk tanpa terlalu kesulitan.
“Dik, model yang bagaimana kita terapkan sekarang? Apa kita ikuti semua posisi yang ada di layar TV tadi,” tanyaku berbisik.
“Terserah kak, aku serahkan sepenuhnya tubuhku ini pada kakak, mana
yang kakak anggap lebih nikmat dan lebih berkesan sepanjang hayat serta
lebih memuaskan kakak,” katanya pasrah. Akupun meneruskan posisi tidur
telentang tadi sambil aku berdiri menggocok terus, sehingga menimbulkan
bunyi yang agak menambah gairah sexku.
“Ahh.. Uhh.. Ssstt.. Hmm.. Teeruus kak, enak sekali, gocok terus
kakak, aku sangat menikmatinya,” demikian pintanya sambil terengah dan
berdesis seperti bunyi jangkrik di dalam kamarnya itu.
“Dik, gimana kalau saya berbaring dan adik mengangkangiku, biar adik lebih leluasa goyangannya,” pintaku padanya.
“Aku ini sudah hampir memuncak dan sudah mulai lemas, tapi kalau itu
permintaan kakak, bolehlah, aku masih bisa bertahan beberapa menit
lagi,” jawabnya seolah ingin memuaskanku malam itu.
Tanpa kami rasakan dan pikirkan lagi suaminya kembali malam itu,
apalagi setelah jam menunjukkan pukul 9.30 malam itu, aku terus berusaha
menumpahkan segalanya dan betul-betul ingin menikmati pengalaman
bersejarah ini bersama dengan istri teman lamaku itu. Namun sayangnya,
karena keasyikan dan keseriusan kami dalam bersetubuh malam itu,
sehingga baru sekitar 3 menit berjalan dengan posisi saya di bawah dan
dia di atas memompa serta menggoyang kiri kanan pinggulnya, akhirnya
spermakupun tumpah dalam rahimnya dan diapun kurasakan bergetar seluruh
tubuhnya pertanda juga memuncak gairah sexnya. Setelah sama-sama puas,
kami saling berciuman, berangkulan, berjilatan tubuh dan tidur
terlentang hingga pagi.
Setelah kami terbangun hampir bersamaan di pagi hari, saya langsung
lompat dari tempat tidur, tiba-tiba muncul rasa takut yang mengecam dan
pikiranku sangat kalut tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Saya
menyesal tapi ada keinginan untuk mengulanginya bersama dengan wanita
itu. Untung malam itu suaminya tidak kembali dan kamipun berusaha masuk
kamar mandi membersihkan diri. Walaupun terasa ada gairah baru lagi
ingin mengulangi di dalam kamar mandi, namun rasa takutku lebih
mengalahkan gairahku sehingga aku mengurungkan niatku itu dan langsung
pamit dan sama-sama berjanji akan mengulanginya jika ada kesempatan.
Saya keluar dari rumah tanpa ada orang lain yang melihatku sehingga saya
yakin tidak ada yang mencurigaiku. Soal istriku di rumah, saya bisa
buat alasan kalau saya ketemu dan bermalam bersama dengan sahabat
lamaku, selesai.